INTEGRASI VERTIKAL DALAM PERSAINGAN USAHA

INTEGRASI VERTIKAL

Integrasi Vertikal dalam  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 14 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang  membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.[1]

Sifat kombinasi Perusahaan secara umum dibedakan atas :

1.      Kombinasi Vertikal

2.      Kombinasi Horizontal

Perjanjian horizontal adalah perjanjian yang dilakukan secara implisit (diam-diam) atau eksplisit (terang-terangan) oleh para pelaku usaha di level perdagangan yang sama, yang bertujuan untuk membatasi kemampuan para pesaingnya dalam melakukan kegiatan usaha di bidang produk sejenis. Perjanjian semacam ini biasanya terjadi dalam asosiasi-asosiasi perdagangan, yang bentuknya antara lain berupa pertukaran informasi tentang perhitungan statistik, informasi operasional, sampai dengan kesepakatan atau penetapan harga (price fixing) yang bertujuan mengesampingkan pelaku usaha baru.[2] Sedangkan, integrasi vertikal adalah penggabungan beberapa badan usaha yang bekerja pada tingkat yang berbeda-beda dalam proses produksi dari sesuatu barang. Jadi, perusahaan yang bergabung berbeda satu sama lain, namun berada dalam urutan proses produksi suatu industri.

Salah satu perjanjian vertikal yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah integrasi vertikal. Integrasi vertikal adalah perjanjian yang bertujuan untuk menguasai beberapa unit usaha yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu. Integrasi vertikal bisa dilakukan dengan strategi penguasaan unit usaha produksi ke hulu dimana perusahaan memiliki unit usaha hingga ke penyediaan bahan baku maupun ke hilir dengan kepemilikan unit usaha hingga ke distribusi barang dan jasa hingga ke konsumen akhir.

Integrasi vertikal mampu menurunkan efek negatif dari struktur pasar monopoli yang ada pada setiap tahap produksi dan distribusi. Integrasi vertikal dapat membatasi margin ganda sehingga konsumen dapat diuntungkan karena bisa mendapatkan produk dengan harga yang lebih murah. Perusahaan juga diuntungkan dengan strategi ini melalui pemanfaatan efisiensi teknis dan efisiensi biaya transaksi sehingga laba total yang didapatkan akan lebih besar dibandingkan bila mereka harus membeli bahan baku dari perusahaan lain atau mendistribusikan produknya lewat perusahaan lain. Namun demikian, integrasi vertikal dapat juga menghambat persaingan karena dapat meningkatkan biaya yang harus ditanggung pesaing untuk mengakses bahan baku atau jalur distribusi yang dibutuhkan untuk menjual produknya. Selain itu, integrasi vertikal juga dapat mengurangi ketersediaan bahan baku dan meningkatkan modal yang dibutuhkan untuk masuk ke pasar. Dengan kata lain, integrasi vertikal dapat menimbulkan hambatan untuk masuk ke sebuah pasar.

M. Manullang, mengemukakan bahwa kombinasi atau integrasi vertikal akan berhasil apabila:

1.        Kualitas produk sangat penting, sehingga kualitas bahan baku harus baik.

2.        Barang jadi yang dihasilkan suatu perusahaan digunakan oleh perusahaan lain sebagai bahan baku.

3.        Arus bahan baku dapat diatur sesuai dengan proses produksi, jadi dapat diatur jumlah bahan baku yang disimpan atau hasil produksi akhir.

Menurut Munir Fuady dan Ahmad Yani & Gunawan Widjaja bahwa meskipun integrasi vertikal, mungkin bisa menghasilkan produk dengan harga murah, tetapi hal tersebut juga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat.

Unsur-Unsur Integrasi Vertikal terkait dalam Pasal 14 Undang-Undang No.5 Tahun 1999:

1.      Pelaku Usaha

Pelaku usaha menurut pasal 1 angka (5) adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelanggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

2.      Perjanjian

Perjanjian menurut pasal 1 angka (7) adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

3.      Pelaku usaha lain

Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang berada dalam satu rangkaian produksi/operasi baik di hulu maupun hilir.

4.      Menguasai Produk

Penguasaan bahan baku, produksi/operasi dan pangsa pasar yang dilakukan oleh suatu pelaku usaha dalam suatu rangkaian produksi.

5.      Barang

Barang menurut pasal 1 angka (16) adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

6.      Jasa

Jasa menurut pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

7.      Persaingan usaha tidak sehat

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

8.      Merugikan Masyarakat

Merugikan masyarakat adalah suatu kondisi dimana masyarakat harus menanggung biaya akibat terjadinya persaingan tidak sehat, seperti harga yang tidak wajar, kualitas barang/jasa yang rendah, pilihan yang terbatas/kelangkaan dan turunnya kesejahteraan (welfare loss).

Makna dari Pasal 14 undang-undang tersebut dapat diartikan bahwa selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, maka hal itu tidak dapat dilarang. Pemusatan kekuatan ekonomi yang terjadi karena kemampuan sendiri, prediksi atau kejelian bisnis yang tinggi tidak dilarang.

Hambatan persaingan usaha dapat diakibatkan oleh perbuatan sepihak dan juga oleh perjanjian. Dengan demikian, Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 bersifat mengikat sebagai klasifikasi hambatan persaingan usaha. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenal hambatan-hambatan persaingan usaha akibat perjanjian di dalam ketentuan-ketentuan Bab III mengenai perjanjian yang dilarang (Pasal 4 sampai dengan Pasal 16), yang mendeskripsikan hambatan-hambatan persaingan yang sangat berbeda-beda. Menurut teori persaingan usaha, perjanjian adalah strategi pasar bersama oleh beberapa pelaku usaha. Esensi perjanjian adalah bahwa pesaing saling menyepakati tentang tingkah laku pasar mereka seluruhnya ataupun menyepakati bagian tertentu dari keseluruhan tingkah laku pasar. Sebagai akibatnya, pesaing-pesaing tidak tampil lagi secara terpisah satu dengan yang lain dan bersikap mandiri di pasar. Kesimpulan dari penilaian terhadap teori persaingan usaha ini adalah bahwa istilah perjanjian memerlukan definisi tersendiri berdasarkan hukum antimonopoli, dan definisi tersebut tidak boleh dikaitkan dengan pengertian perjanjian menurut hukum perdata.

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang integrasi vertikal juga dapat menimbulkan efek-efek negatif bagi persaingan di antara pelaku usaha, seperti:

1.      Integrasi vertikal ke arah hulu (upstream) dapat mengurangi kompetisi di antara penjual di tingkat hulu (upstream level), contohnya: seandainya pelaku usaha/perusahaan perakitan kendaraan dihadapkan pada suatu keadaan di mana pelaku usaha tersebut harus membeli bahan baku dari pelaku usaha pemasok bahan baku (perusahaan pembuat besi baja) dengan harga oligopoli (umumnya pada industri pembuatan besi baja hanya terdapat beberapa perusahaan besar saja). Dalam keadaan seperti ini perusahaan perakitan kendaraan akan lebih menguntungkan jika melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi baja, sehingga perusahaan perakitan kendaraan memiliki perusahaan pembuat besi baja sendiri, yang kemudian perusahaan perakitan mobil tidak lagi menjadi korban dari perilaku oligopoli (yang biasanya menerapkan harga di atas kewajaran) dari perusahaan pembuat besi baja, tetapi kemungkinan nantinya perusahaan pembuat besi baja yang melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan perakitan kendaraan tidak bisa lagi menjual produknya ke perusahaan perakitan kendaraan lain. Akibatnya harga besi baja untuk perusahaan perakitan dapat menjadi lebih mahal lagi, karena semakin berkurangnya pemasok besi baja bagi perusahaan-perusahaan perakitan kendaraan. Dan ini juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan perakitan kendaraan untuk melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi baja, yang pada akhirnya semakin berkuranglah persaingan di antara perusahaan pembuat besi baja yang memasok untuk industri perakitan kendaraan.

2.      Memfasilitasi kolusi di antara pelaku usaha di tingkat hulu (upstream level), di mana dengan semakin meluasnya integrasi vertikal dapat memfasilitasi kolusi antar perusahaan manufaktur karena pemotongan harga terlalu mudah dideteksi (alasan yang digunakan untuk kasus ini sama dengan yang digunakan untuk menolak resale price maintenance).

3.      Integrasi vertikal ke arah hilir (downstream integration) dapat memfasilitasi diskriminasi harga, di mana integrasi sampai di tingkat retailer dapat memungkinkan perusahaan manufaktur mempraktikan diskriminasi harga tanpa harus mengkhawatirkan terhadap tindakan dari perusahaan retailer lainnya. Contohnya sebuah perusahaan manufaktur yang menjual produknya di boutique dan di toko diskon, harga yang diterapkan oleh boutique terhadap produknya biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga yang diterapkan oleh toko diskon, hal tersebut terjadi karena pemilik boutique melakukan mark-up yang setinggi-tingginya terhadap pruduk yang dijual di gerainya untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Memperhatikan perilaku dari boutique ini terkadang membuat tidak jarang perusahaan manufaktur juga membuat sendiri boutique yang akan menjual produk mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat menikmati juga keuntungan sebagai pemilik boutique.

4.      Meningkatnya hambatan masuk (entry barriers) di mana pelaku usaha yang harus melalui dua tahap jika ingin masuk ke dalam pasar, dengan semakin meluasnya praktik integrasi vertikal, kemudian membuat perusahaan manufaktur yang ingin masuk kedalam suatu industri, harus memiliki perusahaan pemasok sendiri yang menjamin pasokannya karena perusahaan pemasok yang ada sudah terintegrasi dengan perusahaan manufaktur yang lain, atau perusahaan manufaktur untuk memasarkan produknya terpaksa harus memiliki perusahaan ritel tersendiri karena perusahaan ritel yang ada juga sudah terintegrasi dengan perusahaan manufaktur yang lain.

Oleh karena terdapat dampak negatif yang mungkin muncul dari suatu integrasi vertikal, maka Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 memasukan integrasi vertikal ke dalam pengaturan kelompok perjanjian yang dilarang. Pasal 14 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.”

Dirumuskannya Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 secara rule of reason adalah sangat tepat, karena seperti telah dijelaskan bahwa integrasi vertikal dapat mempunyai dampak-dampak yang pro kepada persaingan, dan dapat pula berdampak hal yang merugikan pada persaingan. Dengan kata lain pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung sepanjang tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau merugikan kepentingan masyarakat dan perjanjian tersebut mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima.



Lawyer Indonesia
Lawyer Indonesia Advokat / Pengacara/Konsultan Hukum

Tidak ada komentar untuk "INTEGRASI VERTIKAL DALAM PERSAINGAN USAHA"