SIAPAKAH IMAM ABU HANIFAH ?
Sebelum Islam datang, di Irak tradisi keilmuan sudah berkembang dan peradabannya sudah mapan. Ada banyak sekolah dan tempat diskusi. Filsafat termasuk salah satu disiplin keilmuan yang cukup diminati kala itu.
Maraknya kajian filsafat ini berdampak terhadap berkembangnya kajian ilmu kalam (teologis) dalam Islam. Para intelektual muslim saat itu lebih banyak memperdalam ilmu kalam, logika, dan debat (jidal). Ketiga ilmu ini harus dikuasai untuk merespons pertanyaan dan permasalahan teologis yang dilontarkan oleh para filsuf.
Abu Hanifah memperdalam ilmu kalam. Beliau turut serta meramaikan perdebatan teologis pada waktu itu. Kitab Fiqhul Akbar menjadi bukti kepiawaian Abu Hanifah dalam ilmu kalam. Hingga akhirnya, dia menyadari bahwa ilmu ini tidak ada manfaatnya dan tidak berdampak terhadap generasi berikutnya. Dalam pandangan beliau, ilmu fikih adalah ilmu yang paling bermanfaat dan sangat berguna bagi masyarakat. Sejak itu, Abu Hanifah mulai memperdalam ilmu fikih dan belajar langsung kepada ulama yang ahli di bidang fikih di Irak.
Abu Hanifah termasuk ulama yang terbuka. Dia mau belajar dengan siapapun. Sejarah menunjukan bahwa beliau pernah belajar dengan tokoh muktazilah dan Syi'ah. Meskipun demikian, Abu Hanifah tidak fanatik dengan pemikiran gurunya. Sekalipun pernah belajar dengan pembesar Syi'ah, Abu Hanifah tidak pernah mencaci-maki dan menjelekkan sahabat Nabi.
Sa'id bin Abi 'Arubah (w. 156 H) mengatakan, "Saya pernah menghadiri kajian Abu Hanifah dan dia memuji Utsman bin Affan. Saya tidak pernah sebelumnya mendengar orang memuji Utsman di Kufah".
Keterbukaan Abu Hanifah terhadap berbagai macam aliran ini tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial keagamaan yang mengitari hidupnya. Beliau hidup di tengah masyarakat yang plural dan beragam. Di sana tumbuh berbagai macam aliran keagamaan dan keilmuan. Ada Syi'ah, Muktazilah, dan Khawarij.
Abu Hanifah pernah hidup dalam dua kekuasaan dinasti Islam terbesar, Umawiyah dan Abasiyah. Beliau memiliki pengalaman hidup di bawah kekuasaan Umawiyah selama 5 tahun dan 18 tahun dengan Abasiyah.
Saat Bani Umawiyah menguasai Irak, Abu Hanifah pernah ditawari jabatan hakim oleh Ibnu Hubayrah, penguasa Irak saat itu. Tapi, Abu Hanifah menolak. Beliau tidak mau menjadi hakim pemerintahan Umawiyah.
Ibnu Hubayrah tetap memaksa Abu Hanifah dan mengancam jika tak dipenuhi keinginannya,Abu Hanifah tetap tegar dengan pendiriannya, sehingga dia dihukum cambuk dan dipenjarakan. Saking kuatnya pendirian Abu Hanifah, bekas cambukan itu tidak membuat hatinya luntur dan sedih. Malahan, tukang cambuknya letih sendiri dan merasa kasihan dengan kondisi Abu Hanifah. Tidak lama setelah itu, Abu Hanifah dibebaskan.
Setelah Dinasti Umawiyah digantikan Abasiyah, Suatu ketika Khalifah Abu Ja’far al-Mansur membutuhkan seorang hakim, sang menteri pun menyodorkan nama Imam Hanafi. Berbekal optimisme yang tinggi bahwa tidak akan ada yang menolak tawaran yang diberikannya, Khalifah mengutus seseorang menemui Imam Hanafi untuk menghadapnya.
Khalifah ternyata malah kaget ketika Imam Hanafi menjawab, “Aku akan istikharah terlebih dahulu, meminta petunjuk kepada Allah. Jika hatiku dibuka maka akan aku terima. Jika tidak, maka masih banyak ahli fikih lain yang dapat dipilih oleh Amirul Mukminin (khalifah).”
Waktu telah berjalan lama, tetapi Imam Hanafi tak kunjung menghadap Khalifah. Khalifah pun mengutus lagi seseorang memintanya menghadap.
Imam Hanafi pergi menghadap dan menolak jabatan sebagai hakim. Khalifah tidak menyerah begitu. Ia bahkan bersumpah agar Imam Hanafi menerima jabatan sebagai hakim.
Namun Imam Hanafi tetap bersikeras menolaknya. Setelah berdebat lama dan Imam Hanafi tetap menolak, Khalifah pun tersinggung. Ia memerintahkan pengawalnya mencambuk Imam Hanafi seratus cambukan dan dijebloskan ke jeruji penjara.
Selang beberapa hari, Khalifah ditegur kerabatnya, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang.”
Khalifah pun segera memerintahkan pegawainya membayar 30.000 dirham sebagai ganti deritanya. Khalifah membebaskannya dan memulangkan Imam Hanafi. Di luar perkiraan Khalifah lagi, ternyata Imam Hanafi menolak 'ganti derita' yang ia bayar. Khalifah makin marah. Khalifah memerintahkan menjebloskannya lagi ke penjara. Hanya saja, para menteri mengusulkan supaya Imam Hanafi segera dibebaskan. Ia cukup dijadikan tahanan rumah saja. Dilarang duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.
Selang beberapa hari setelah menjalani tahanan rumah, Imam Hanafi terkena penyakit. Makin lama bertambah parah. Akhirnya ia wafat pada usia 70 tahun di Baghdad Irak. Berita kematiannya segera menyebar. Salah seorang ulama Kufah berkata, “Cahaya keilmuan telah dimatikan dari Kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaliber dia selamanya.”
ia disalatkan 50 ribu orang dan dishalati hingga enam kali. Sebelum wafat, sang Imam berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan. Pada masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad didedikasikan untuk sang Imam. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah. Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini, Madzhab Hanafi banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India
Referensi :
Jejak Ulama Menembus Rintangan oleh Dr. Jasmin Muhammad Badr
Tidak ada komentar untuk "SIAPAKAH IMAM ABU HANIFAH ?"
Posting Komentar