SIAPAKAH IMAM ABU HANIFAH ?

Imam Abu Hanifah atau dikenal dengan nama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi. Ia dilahirkan pada tahun 80 Hijriah atau sekitar 699 Masehi
 di Kufah, Irak— meninggal di Baghdad, Irak, 148 H/ 767 M. Seorang keturunan Persia dan lahir pada masa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan dari Bani Umayyah. Berasal dari keluarga terhormat ditengah-tengah kaumnya, asli dari kabul, ibukota Afghanistan saat ini.  Beliau tumbuh dari keluarga muslim, shalih, kaya dan dermawan. Abu Hanifah adalah anak tunggal. Ayah beliau berprofesi sebagai penjual kain sutera, menjual baju-baju ditoko miliknya.

 -Siapakah Imam Hanafi menurut para ulama pada masa beliau?
Menurut Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah SWT tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa. Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih.
     “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya. Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.”
      “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah. Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya.”

      Menurut Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”

-Seorang Itelektual 

Sebelum Islam datang, di Irak tradisi keilmuan sudah berkembang dan peradabannya sudah mapan. Ada banyak sekolah dan tempat diskusi. Filsafat termasuk salah satu disiplin keilmuan yang cukup diminati kala itu.

         Maraknya kajian filsafat ini berdampak terhadap berkembangnya kajian ilmu kalam (teologis) dalam Islam. Para intelektual muslim saat itu lebih banyak memperdalam ilmu kalam, logika, dan debat (jidal). Ketiga ilmu ini harus dikuasai untuk merespons pertanyaan dan permasalahan teologis yang dilontarkan oleh para filsuf.

       Abu Hanifah memperdalam ilmu kalam. Beliau turut serta meramaikan perdebatan teologis pada waktu itu. Kitab Fiqhul Akbar menjadi bukti kepiawaian Abu Hanifah dalam ilmu kalam. Hingga akhirnya, dia menyadari bahwa ilmu ini tidak ada manfaatnya dan tidak berdampak terhadap generasi berikutnya.  Dalam pandangan beliau, ilmu fikih adalah ilmu yang paling bermanfaat dan sangat berguna bagi masyarakat. Sejak itu, Abu Hanifah mulai memperdalam ilmu fikih dan belajar langsung kepada ulama yang ahli di bidang fikih di Irak.

         Abu Hanifah termasuk ulama yang terbuka. Dia mau belajar dengan siapapun. Sejarah menunjukan bahwa beliau pernah belajar dengan tokoh muktazilah dan Syi'ah. Meskipun demikian, Abu Hanifah tidak fanatik dengan pemikiran gurunya. Sekalipun pernah belajar dengan pembesar Syi'ah, Abu Hanifah tidak pernah mencaci-maki dan menjelekkan sahabat Nabi.

          Sa'id bin Abi 'Arubah (w. 156 H) mengatakan, "Saya pernah menghadiri kajian Abu Hanifah dan dia memuji Utsman bin Affan. Saya tidak pernah sebelumnya mendengar orang memuji Utsman di Kufah".

          Keterbukaan Abu Hanifah terhadap berbagai macam aliran ini tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial keagamaan yang mengitari hidupnya. Beliau hidup di tengah masyarakat yang plural dan beragam. Di sana tumbuh berbagai macam aliran keagamaan dan keilmuan. Ada Syi'ah, Muktazilah, dan Khawarij.

  - Mulai belajar ilmu
Abu hanifah hafal Al-Quran dan ribuan hadist saat masih kecil, hanya saat itu ia belum berkeinginan untuk mendengar pelajaran ulama. Saat beliau menemai sang ayah di toko, bertemulah dengan Asy-Sya'bi. Abu hanifah menurutkan pertemuannya itu beliau berkata "suatu ketika saya melintas dihadapan Asy-Sya'bi saat ia sedang duduk. Asy-Sya'bi memanggil saya, ia bertanya "kau sering datang dan pergi, kemana saja kamu?" "saya sering menemui si fulan" sahut saya. "maksud saya bukan ke pasar, tapi ulama siapa saja yang sering kau temui?" tanya Asy-sya'bi. "saya jarang menemui mereka". Jawab saya. "jangan begitu! Kau harus mempelajari ilmu dan berteman dengan ulama, karna saya melihat adanya kecerdasan dan keaktifan dalam diri kamu," kata Asy-sya'bi. Abu Hanifah meneruskan, "kata-kata Asy-Sya'bi sangat berkesan di hati saya, sejak saat igu, saya meninggalkan pasar, dan mulai mempelajari ilmu, Allah ternyata membuat kata-kata Asy-sya'bi itu berguna bagi saya". 

          -Adab Abu Hanifah dengan Gurunya Syeikh Hammad
Halaqah pertama yang dihadiri oleh beliau adalah halaqah Hammad Bin Abu Sulaiman. Beliau belajar selama 18 tahun oleh Hammad. Adaikan Hammad tidak wafat pada tahun 120 H, beliau masih belajar dengannya. Dari Syekh Hammad, Abu Hanifa mempelajari fiqih dan adab sehingga mengungguli teman-temannya. Karena kecerdasan hang dimilikinya, Hammad bin Abu Sulaiman berkata kepada murid-muridnya, " jangan sampai ada yang duduk di depan majelis tepat sejajar dengan saya, selain Abu Hanifah".
      Abu Hanifah sering mendatangi rumah Hammad dan menanti di depan pintu, menanti untuk solat atau suatu keperluan. Saat sang guru membutuhkan sesuatu, maka beliau langsung melayaninya. Saat Abu Hanifah duduk di rumah, beliau tidak pernah menjulurkan kaki ke arah rumah gurunya. Setiap kali selesai solat, beliau selalu mendoakan Hammad.
     Abu Hanifah berkata "saya tidak pernah menjulurkan kaki saya ke arah rumah Hammad demi memuliakannya". Padahal jarak antara rumah abu hanifah dengan Hammad terpisah tujuh rumah.
    -Bertemu  Abdullah bin Al-Harist
Pada usia 16 tahun, Abu Hanifah beraama sang ayah menunaikan haji dan berziarah ke makam serta masjid nabi Saw.
    Abu Hanifah menuturkan kata, "Tanpa diduga, saya melihat seorang syekh dikeliling banyak orang, lalu saya bertanya kepada ayah saya, "siapa syekh itu?" ayah menjawab, "dia pernah mendampingi Nabi Saw, namanya Abdullah bin Al-Harist bin Juz Az-zabaidi." saya kemudian berkata, "bawa saya maju untuk bertemu dengannya." ayah kemudian maju dan saya mengikuti ayah, setelah itu ayah mempertemukan saya dengan Abdullah bin Al-Harits, saya lalh mendengarnya berkata, "Rasulullah Saw bersabda, 'siapa mendalami agama Allah, Allah akan mencukupi (beban rezeki yang mengganggu) pikirannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia duga-duga."

     -Ahli Berdialog 
Ilmu pertama yang menarik perhatian Abu Hanifah adalah ilmu ushuluddin dan perdebatan melawan orang-orang atheis dan sesat. Berkunjung ke Bashrah lebih dari 27 kali. Disana abu hanifah berdebat dan membantah berbagai  macam syubhat: mendebat jahmiyah, kalangan atheis, mu'tazilah, khawarij, dan kalangan syi'ah ekstrim.
      Beliau juga menekuni ilmu kalam, setelah itu ia menguasai ilmu fiqh hingga menjadi seorang ulama yang menjadi pusat perhatian saat masih berusia 20 tahun. Dan membuat halaqoh khusus di Masjid Kufah. 
     Abu Hanifah menciptakan sebuat metode dalam menganalisa masalah-masalah ijtihad dengan berdiskusi kepada murid-muridnya yang juga para ulama. Agar masing masing menyampaikan pendapat. 

-Menolak Menjadi Hakim dan wafatnya

Abu Hanifah pernah hidup dalam dua kekuasaan dinasti Islam terbesar, Umawiyah dan Abasiyah. Beliau memiliki pengalaman hidup di bawah kekuasaan Umawiyah selama 5 tahun dan 18 tahun dengan Abasiyah.

        Saat Bani Umawiyah menguasai Irak, Abu Hanifah pernah ditawari jabatan hakim oleh Ibnu Hubayrah, penguasa Irak saat itu. Tapi, Abu Hanifah menolak. Beliau tidak mau menjadi hakim pemerintahan Umawiyah.

      Ibnu Hubayrah tetap memaksa Abu Hanifah dan mengancam jika tak dipenuhi keinginannya,Abu Hanifah tetap tegar dengan pendiriannya, sehingga dia dihukum cambuk dan dipenjarakan. Saking kuatnya pendirian Abu Hanifah, bekas cambukan itu tidak membuat hatinya luntur dan sedih. Malahan, tukang cambuknya letih sendiri dan merasa kasihan dengan kondisi Abu Hanifah. Tidak lama setelah itu, Abu Hanifah dibebaskan.

Setelah Dinasti Umawiyah digantikan Abasiyah, Suatu ketika Khalifah Abu Ja’far al-Mansur membutuhkan seorang hakim, sang menteri pun menyodorkan nama Imam Hanafi. Berbekal optimisme yang tinggi bahwa tidak akan ada yang menolak tawaran yang diberikannya, Khalifah mengutus seseorang menemui Imam Hanafi untuk menghadapnya.

       Khalifah ternyata malah kaget ketika Imam Hanafi menjawab, “Aku akan istikharah terlebih dahulu, meminta petunjuk kepada Allah. Jika hatiku dibuka maka akan aku terima. Jika tidak, maka masih banyak ahli fikih lain yang dapat dipilih oleh Amirul Mukminin (khalifah).”

      Waktu telah berjalan lama, tetapi Imam Hanafi tak kunjung menghadap Khalifah. Khalifah pun mengutus lagi seseorang memintanya menghadap.

      Imam Hanafi pergi menghadap dan menolak jabatan sebagai hakim. Khalifah tidak menyerah begitu. Ia bahkan bersumpah agar Imam Hanafi menerima jabatan sebagai hakim.

       Namun Imam Hanafi tetap bersikeras menolaknya. Setelah berdebat lama dan Imam Hanafi tetap menolak, Khalifah pun tersinggung. Ia memerintahkan pengawalnya mencambuk Imam Hanafi seratus cambukan dan dijebloskan ke jeruji penjara.

      Selang beberapa hari, Khalifah ditegur kerabatnya, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang.”

        Khalifah pun segera memerintahkan pegawainya membayar 30.000 dirham sebagai ganti deritanya. Khalifah membebaskannya dan memulangkan Imam Hanafi.  Di luar perkiraan Khalifah lagi, ternyata Imam Hanafi menolak 'ganti derita' yang ia bayar. Khalifah makin marah. Khalifah memerintahkan menjebloskannya lagi ke penjara.  Hanya saja, para menteri mengusulkan supaya Imam Hanafi segera dibebaskan. Ia cukup dijadikan tahanan rumah saja. Dilarang duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

       Selang beberapa hari setelah menjalani tahanan rumah, Imam Hanafi terkena penyakit. Makin lama bertambah parah. Akhirnya ia wafat pada usia 70 tahun di Baghdad Irak. Berita kematiannya segera menyebar. Salah seorang ulama Kufah berkata, “Cahaya keilmuan telah dimatikan dari Kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaliber dia selamanya.”

      ia disalatkan 50 ribu orang dan dishalati hingga enam kali. Sebelum wafat, sang Imam berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan. Pada masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad didedikasikan untuk sang Imam. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah. Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini, Madzhab Hanafi banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India

Referensi :

Jejak Ulama Menembus Rintangan oleh Dr. Jasmin Muhammad Badr

Penulis: 
Ahmad Mukhlis Al-anam

       
Lawyer Indonesia
Lawyer Indonesia Advokat / Pengacara/Konsultan Hukum

Tidak ada komentar untuk "SIAPAKAH IMAM ABU HANIFAH ?"